Pendahuluan
Daftar Isi
Kaidah-kaidah fiqih (qawaid fiqhiyyah) atau kaidah-kaidah hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam literatur hukum Islam. Ia merupakan bentuk khusus literatur hukum yang berkembang pada Abad ke-13 hingga Abad ke-15. Kaidah-kaidah ini meringkas aturan-aturan dari setiap mazhab ke dalam ringkasan-ringkasan pendek sehingga orang yang mempelajarinya dapat dengan mudah menghafalnya.
Kaidah-kaidah fiqih merupakan ketetapan-ketetapan hukum yang umum, di mana ulama terdahulu melakukan suatu proses induksi dari banyak ketentuan fiqih dalam bentuk generalisasi hukum. Para ulama memandangnya sebagai karakteristik fiqih yang sistematis dan sudah menjadi bawaan lahir yang sulit diubah tanpa mengganti keseluruhan strukturnya.
Kaidah-kaidah fiqih (hukum Islam) adalah pernyataan-pernyataan yang dirumuskan dalam bentuk hukum yang akurat yang mengilustrasikan gambaran umum dari sifat, semangat, filsafat dan tujuan hukum Islam. Satu kaidah hukum mewakili satu aturan atau prinsip umum yang mencakup sejumlah besar hukum-hukum fiqih terkait satu tema tertentu.
Pengertian
Syekh Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ulama fiqih terkemuka mendefinisikan kaidah fiqih sebagai berikut:
“Prinsip-prinsip fiqih universal yang dirumuskan ke dalam bentuk hukum yang padat, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada di bawah topik-topik tertentu”.
Ali Hayder, sosok yang dikenal sebagai pensyarah al-Majallah mendefinisikan kaidah fiqih sebagai aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan untuk mengetahui hal-hal khusus. Pensyarah al-Majallah lainnya, Salim Rustum Baz mendefinisikan kaidah fiqih sebagai aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau sebagian besar kasus-kasus khusus.
Muhammad Anis Ubadah, penulis Tarikh al-Fiqh Islami, menyatakan bahwa kaidah fiqih adalah konsep universal di mana ketetapan-ketetapan dari berbagai perkara hukum yang berada di bawah konsep universal tersebut dapat diturunkan. Muhammad ibn Ahmad al-Maqqari mendefinisikan kaidah fiqih sebagai suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung diketahui.
Sifat dasar kaidah fiqih
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, terkait apakah kaidah fiqih merupakan ilmu yang menyeluruh (kulli) atau ilmu yang utama (aghlabi). Mustafa Ahmad al-Zarqa memandang bahwa kaidah fiqih merupakan aturan-aturan yang mencakup seluruh ketetapan hukum yang relevan dari hukum Islam. Sementara Hamawi dan Ali Ahmad an-Nadawi serta banyak ulama lainnya berpendapat bahwa kaidah fiqih adalah aturan-aturan yang utama. Jadi mayoritas ulama mendeskripsikan kaidah fiqih sebagai aturan-aturan umum dari hukum Islam yang mencakup sebagian besar ketetapan dalam hukum Islam.
Hamawi mencoba mencari solusi dari kontroversi universalitas kaidah fiqih. Ia menjelaskan bahwa arti qawaid (bentuk jamak dari kaidah) berbeda dalam pandangan ahli struktur bahasa dan ahli teori hukum. Bagi ahli fiqih, qawaid merupakan suatu konsep mayoritas (aktsari) daripada menyeluruh (kulli). Universalitas bermakna bukan tidak ada pengecualian (istasnayat) terhadap suatu kaidah. Pengecualian terhadap suatu kaidah akan tetap ada. Ali Ahmad an-Nadawi berpandangan sama, bahwa suatu pernyataan universalitas merupakan refleksi keluasan cakupan daripada totalitas mutlak, karena ada beberapa pengecualian untuk setiap kaidah.
Faktanya, meskipun kaidah-kaidah fiqih banyak sekali mengandung ketentuan hukum yang sama, tetap saja tidak menyeluruh dalam penerapannya. Misalnya, aturan umum dalam fiqih “penjualan barang yang tidak ada (di tempat), tidak diperbolehkan“. Meskipun demikian, kaidah ini tidak berlaku untuk akad salam, istisna dan ijarah, di mana meskipun barangnya tidak ada pada saat akad, tetap saja akad tersebut dinyatakan sah.
Sumber : Muhammad Tahir Mansoori, 2010, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, Bogor: Ulil Albaab Institute.