Heidegger dan Seni Penerimaan Diri

Print Friendly, PDF & Email

Language is the house of being”. Kata Martin Heidegger.

Heidegger adalah sosok filsuf yang dikenal dengan karya magnum opusnya, “Sein und Zeit” (Ada dan Waktu). Sependek yang Saya ketahui, karya tersebut mengulas tentang eksistensi dan hubungannya dengan waktu. Saya kira menarik untuk mengulas pernyataan Heidegger tersebut dan beberapa pembahasan dalam karyanya, kemudian mengaitkannya dengan sebuah “seni penerimaan diri”. Mari kita mulai.

Heidegger mengatakan bahwa bahasa adalah rumah bagi “Ada”. “Ada” di sini tentu saja suatu eksistensi, entah itu manusia, hewan, ataupun benda-benda. “Rumah” adalah tempat di mana seseorang atau sesuatu itu tinggal dan menetap. Rumah identik dengan tempat kembali yang membuat kita betah dan nyaman. Jadi, “bahasa” membuat suatu eksistensi menjadi betah.

Masih bingung? Sama. Wkwk. Baik, sebelum dilanjutkan, Saya lempar satu pertanyaan. Di antara eksistensi yang Saya sebutkan di atas (manusia, hewan, benda-benda), entitas mana yang mampu menyadari eksistensinya? Hewan tidak mampu menjawabnya, apalagi benda-benda. Kita semua, dari golongan manusia, dengan tegas menjawabnya: manusialah yang mampu menyadari eksistensinya.

Ilustrasi: manusia dalam rutinitas keseharian

Sejak manusia menyadari eksistensinya itulah, sang “Ada” mulai “menampakkan dirinya”. Kita mulai mengenal diri kita sendiri (meskipun tidak secara utuh, dan mungkin tak akan pernah) dan mengenal orang lain (juga hewan-hewan) melalui komunikasi via bahasa. Tanpa bahasa, mungkin suatu eksistensi (terutama manusia dan hewan) tidak akan bisa berkembang sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Baca juga :  Menumpahkan Kegelisahan lewat Tulisan

Bahasa di sini tentu saja tidak hanya verbal. Bahasa bisa diungkapkan secara non-verbal, misalnya melalui tulisan, gestur tubuh, mimik wajah ataupun isyarat. Komunikasi antar manusia bisa menggunakan beragam cara berbahasa tersebut. Hewan juga punya cara komunikasi tersendiri antar sesamanya. Bahkan manusia yang cukup lama berbaur dengan hewan piaraannya bisa saling berkomunikasi dengan sangat baik. Berbagai kondisi tersebut mungkin bisa memberikan gambaran terkait pernyataan Heidegger di atas.

Lantas, apa hubungannya dengan seni penerimaan diri? Sebenarnya penjelasan di atas bisa menjadi dasar bagi kita untuk menerima diri. Misalnya kita ambil istilah-istilah kunci berikut : Ada, bahasa, rumah, betah, kesadaran, eksistensi dan komunikasi. Kita bisa akrab dengan diri sendiri karena pertama-tama kita menerima dan terbuka terhadap diri. Kita sering kali bermonolog dengan diri sendiri ketika hendak membuat suatu keputusan atau sekadar memikirkan sesuatu. Kita menjadi nyaman dan betah terhadap diri sebab adanya kebiasaan monolog tersebut. Hal itu menjadi mungkin hanya jika kita menyadari eksistensi diri.

Kita juga bisa menerima diri sebab adanya penerimaan dari orang lain. Dalam hidup, kita pasti butuh keluarga, sahabat, teman, atau siapapun yang bisa mengakui eksistensi kita. Sebaliknya, kita juga terlibat dalam memunculkan eksistensi mereka, sehingga terjadi hubungan timbal-balik. Namun, penerimaan diri yang disebabkan faktor eksternal ini tidak selalu berdampak positif. Contohnya bisa kita lihat di dunia maya saat ini, di mana banyak bermunculan “eksistensi semu”, misalnya konten-konten video vulgar yang banyak berseliweran di media sosial demi mendulang view.

Dalam konteks inilah pemikiran Heidegger tentang waktu menemukan relevansinya. Heidegger membagi waktu menjadi dua, yakni waktu otentik dan waktu inotentik.  Manusia yang sadar sepenuhnya terhadap waktu yang dimilikinya, akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Mereka mampu menghayati setiap momentum dalam hidup. Manusia tipe ini, Heidegger menyebutnya sebagai Dasein. Sebaliknya, manusia yang tidak mampu menyadari waktunya dengan baik, akan tergilas oleh rutinitas keseharian yang banal. Dan tanpa mereka sadari, mereka kehilangan banyak momentum berharga yang seharusnya bisa mereka rasakan. Heidegger menyebutnya sebagai Dasman. Dasein mampu menemukan waktu otentiknya, sedangkan Dasman lebih memilih tenggelam ke dalam waktu inotentik.

Baca juga :  Menumpahkan Kegelisahan lewat Tulisan
Suka artikel ini? Silakan Share.